Sisi Liar Dari Gunung Salak

Gunung Salak kembali jadi sorotan publik setelah kecelakaan pesawat Sukhoi Superjet 100 pada 9 Mei 2012. Gunung ini merupakan ekosistem pegunungan tropis di Jawa Barat dengan ketinggian 400-2210 meter di atas permukaan laut. Wilayah itu memiliki peran penting bagi pelestarian keragaman hayati. Berbagai spesies endemik dan langka hanya ada di gunung ini. Gunung Salak terletak pada Kecamatan Ciampea, Kecamatan Ciomas, Kecamatan Pamijah di Kabupaten Bogor. Gunung yang luas ini juga mencakup Kecamatan Parungkuda dan Kecamatan Cicurug di Kabupaten Sukabumi. Luas kawasan gunung ini sekitar 31.327ha.

Hujan dan Dingin

Rata-rata curah hujan bulanan yang cukup tinggi di kawasan Gunung Salak terjadi pada November hingga Mei. Pada saat kecelakaan Sukhoi, kondisi cuaca pun dilaporkan tidak bersahabat. Umumnya curah hujan di atas 300mm per bulan. Pada Juni hingga Oktober, curah hujan lebih rendah kurang dari 300m per bulan. Suhu udara rata-rata di kaki Gunung Salak sekitar 25,7 derajat Celcius. Menurut Hadiyanto (1997), suhu maksimum sekitar 29,9 derajat Celcius dan minimum 21,6 derajat Celcius.

Menurut Vivien (2002), tanah di Kawasan Gunung Salak sebagian besar terdiri dari jenis Andosol. Lapisan atas kaya akan zat organik berwarna merah hingga kehitaman. Tekstur lempung sampai lempung liat berdebu. Lapisan di bawahnya merah kekuningan, cokelat kemerahan, hingga cokelat kuat. Tekstur lempung bagian ini sampai lempung berpasir. Menurut Sandy (1997), ekosistem Gunung Salak sangat rentan terhadap gangguan. Masalah ini mengingat topografinya yang terletak di daerah ketinggian dengan lereng curam dan curah hujan yang relatif besar mencapai 3.000mm per tahun.

Gangguan tersebut mengakibatkan perubahan pada distribusi, komposisi, struktur, dan berbagai tipe ekosistem pegunungan.


Keragaman Hayati

Gunung Salak menjadi bagian dari Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Lokasi kawasan sub pegunungan dapat didaki dari beberapa lokasi. Bisa melalui Desa Gunung Bunder Dua dan Desa Gunung Sari.

Tipe vegetasi berdasarkan penelitian Wiharto (2008) terdiri atas beberapa aliansi hutan:

1. Aliansi hutan Schima walichii-Pandanus punctatus/ Cinchona sinensis
Selanjutnya disebut Aliansi 1.
2.  Aliansi hutan Gigantochloa apus-Mallotus blumeana/ C. sinensis,  selanjutnya disebut Aliansi 2.
3. Aliansi hutan Pinus merkusii-Dysoxylum  arbo-rescens/Dicranopteris dichotoma, berikutnya disebut Aliansi 3.

Pada aliansi 1, wilayah ini merupakan hutan alam campuran yang memperlihatkan jumlah pohon terbanyak berdiameter kecil. Serupa dengan temuan pada aliansi 3. Wilayah ini juga hutan tanaman.

Menurut makalah "Distribusi Kelas Diameter Pohon pada Berbagai Tipe Vegetasi di Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat", Aliansi 2 tampil paling berbeda. Kawasan ini didominasi spesies bambu. 

Penelitian Muhammad Wiharto, Cecep Kusmana, Lilik Budi Prasetyo, Tukirin Partomihardjo ini menemukan kaitan dengan temuan penelitian Bukit Belalong, Brunei. Menurut Pendry dan Proctor (1996), perubahan struktur hutan disebabkan perubahan ketinggian tempat yang mengakibatkan suhu udara menurun.

Pengaruh ketinggian  tempat  terhadap pertumbuhan pohon bersifat  tidak langsung  (Soedomo  1984).  Artinya, perbedaan  ketinggian  tempat  akan  mempengaruhi  keadaan lingkungan  tumbuh pohon, terutama  suhu, kelembapan,  O2  di  udara,  dan  keadaan  tanah.  Keadaan  lingkungan  tumbuh ini akhirnya mempengaruhi pertumbuhan pohon.
Diberdayakan oleh Blogger.